Selasa, 27 April 2010

Islamkah Kita?

Alkisah, raja Persia yang bernama Tukla, mengunjungi salah satu orang saleh dan berkata, “Kegagalan telah melandaku. Hanya orang miskin yang mendapatkan kekayaan di dunia ini, bila kemuliaan dunia ditinggalkan. Oleh karena itu, kini aku akan habiskan waktuku beribadah agar aku bisa memanfaatkan waktuku yang tersisa bagiku”. Orang saleh yang mendengarkan marah lalu berkata, “Cukup!”. Lalu ia berseru, “Agama bertindak sama dalam memberikan pelayanan kepada manusia; yang pelayanan kepada umat manusia tersebut tidak akan ditemukan dalam tasbih, atau diatas sajadah atau pada pakaian yang compang-camping. Jadilah seorang raja yang bermoral suci. Berbuatlah dan bukan hanya kata-kata, yang dituntut oleh agama, karena kata-kata tanpa perbuatan adalah kesia-siaan”.
Penggalan cerita ini tertulis pada buku berjudul Bustan, salah satu magnus opus-nya Sang penyair besar Persia, Sa’di. Kalu coba kita renungkan, maka pada penggalan tersebut, Sa’di ingin memberikan ‘hikmah’ bahwa : Pertama, agama (dalam artian konsep takdir) bukanlah sebuah upaya justifikasi terhadap gagalnya kita dengan segala upaya kita. Kita sangat sering terjebak pada determinisme yang berujung pada sikap fatalistik, bahwa Tuhan adalah perantara bagi gagalnya kita dalam melakukan sesuatu. Kita sering menisbahkan kesalahan kita kepada Sang Esa tersebut.
Bukan sekedar itu, kita juga sering malahan menyalahkan orang lain atas sesuatu yang menimpa kita. Negara kita saat ini dilanda semacam ‘kemiskinan berjamaah’, tetapi oleh sebahagian orang malahan menyalahkan orang-orang miskin tersebut dengan tuduhan malas dan lain sebagainya. Kita terjebak dengan mem-blaming the victim. Mereka adalah korban dari dosa kolektif kita semua. Kita semua bertanggungjawab terhadap masalah tersebut. Menanggulangi masalah kemiskinan juga mnembutuhkan tindakan kolektif, karena itu konsep takdir dalam agama Islam tidaklah berada pada kutub determinisme, apalagi terletak pada free will. Kita adalah co-creator Allah didunia ini, ucap terminologi tashawwuf.
Kedua, agama Islam bukanlah sarana ‘onani spiritual’ an sich. Dalam agama Islam, bukanlah pendekatan kepada Allah saja yang harus kita lakukan. Kita punya berbagai kerja dari pengejawantahan misi dan visi Islam sebagai agama pembebasan. Agamna Islam memberikan tempat yang sama bagi upaya pendekatan kepada Allah dan pendekatan kepada masyarakat.
Muhammad Iqbal menuliskan sebuah perbedaan yang mencolok dari seorang mistikus dengan seorang nabi. Seorang mistikus, katanya, hanya melakukan perjalanan dari dirinya menuju ke Tuhannya semata. Dan puncak perjalanan seorang mistikus adalah ketika ia ‘bertemu’ Tuhannya. Tetapi seorang nabi, melakukan upaya seorang mistikus dalam pendekatan ke Tuhannya dan melakukan upaya pendekatan kepada masyarakatnya. Seorang nabi menawarkan rekayasa budaya, menawarkan rekayasa sosial dan pembentukan paradigma baru bahwa betapa berfikir rasional adalah senjata ampuh dan berfikir irasional adalah kenaifan. Seorang nabi melakukan siklus kehidupan, yaitu menata spiritual dan intelektual untuk aksi sosial yang kesemuanya dibingkai oleh pandangan dunia tauhid.
Ketiga, agama yang membebaskan tidak terletak pada kata-kata, tetapi pada aksi. Kadang teori-teori dan adagium-adagium keagamaan telah menjejal otak kita terlalu banyak sehingga aksi teramat sering kita lupakan. Kita larut mempelajari dan berteori tentang sesuatu, tapi tidak melakukan sesuatu. Untuk hal ini, mungkin kita harus menyepakati Karl Marx yang ‘membenci’ orang yang hanya berfikir tentang hakikat sesuatu, tetapi tidak berusaha untuk melakukan perubahan. Islam adalah penyerahan diri, penyerahan diri adalah keyakinan, keyakinan adalah pembenaran, pembenaran adalah ikrar, ikrar adalah pelaksanaan, dan pelaksanaan adalah amal perbuatan.
***
Kita harus mulai belajar untuk memisahkan ajaran agama Islam yang rasional dan rasionalisasi ajaran agama Islam oleh manusia. Ada perbedaan signifikan terhadap ajaran agama Islam yang esensial dan membebaskan dengan ajaran agama Islam yang tampak sekarang bahwa seakan-akan tidak membebaskan dan terkurung pada pemahaman sempit yang berangkat dari beda-beda mazhab yang secara malang, hal itu dilakoni dengan fanatik. Dan terciptalah agama yang anti pada keterbukaan dan sarang anti pembebasan.
Memotret Indonesia kita, maka memang harus kita akui bahwa ada semacam ‘paradoksal faktual’. Kita dapat lihat betapa unsur-unsur spiritualitas mengalami eskalasi yang cukup signifikan dengan menjamurnya pengajian-pengajian dan pusat-pusat pengkajian Islam. Hal ini mengingatkan kita pada ramalan John Naissbit bahwa dipenghujung abad 20 akan ada peningkatan perasaan keagamaan. Tetapi juga kita harus melihat secara faktual bahwa terjadi peningkatan kekerasan, terjadi peningkatan kejahatan-kejahatan yang mungkin dapat kita simpulkan bahwa berbanding lurus dengan kenyataan peningkatan spiritualitas. Kita dibanjiri dengan buku-buku yang membawa kita pada dunia spiritualitas tetapi kita juga dibanjiri dengan buku-buku, tabloid-tabloid ataupun koran-koran yang mengantar kita pada dunia pornografis yang rendahan. Kita belum juga membicarakan dunia cyber.
Pertanyaan sekarang adalah Islamkah kita ? Atau kita hanya mengaku beragama Islam ? Ataukah kita adalah beragama Islam oleh kultur yang terbentuk secara turun-temurun oleh keluarga kita yang secara kebetulan mengecap agama Islam ? Ataukah kita adalah Islam yang rasional dengan penagkapan esensi Islam secara tepat ? Tentu yang kita harusnya akui adalah yang terakhir, namun sudahkah kita mengetahui Islam esensial yang indah tersebut ? Dan setelah kita tahu apa yang harus kita lakukan untuk menembak realitas sekarang menggunakan ‘episteme’ realitas keagamaan Rasulullah di limabelas abad yang lalu tersebut ?
Tugas kita memang mencari. Mencari Islam esensial untuk menemukan metodologi yang tepat, lalu mencoba melanjutkan misi profetik kenabian untuk melakukan rekayasa sosial untuk mencapai masyarakat madani.
Selamat mencari…! Wallahu a’lam Bishshawab

GEN PEMEGANG KENDALI TAKDIR MANUSIA?

Mereka mendalangi kehidupan kita, mempengaruhi tampilan fisik, kesehatan, perilaku bahkan ketakutan dan hasrat kita. Merekalah yang menjadi alasan jasmani kita ada untuk berketurunan. Mereka memberikan kita kehidupan, tapi juga menentukan penuaan dan kematian. "Mereka" bukanlah Tuhan, melainkan gen-gen kita.

Kalimat diatas sepintas terasa provokatif. Dalam wacana keagamaan, takdir dipandang sebagai bahasan yang rawan, suatu wilayah remang-remang yang menyimpan banyak jebakan teologis yang mencelakakan. Ketika bahasan tentang takdir bercampur dengan cabang sains yang tergolong kontroversial, dalam hal ini biologi evolusi, hasilnya mungkin bisa membuat jidat para agamawan sedikit berkerut.Untungnya buku ini tidaklah demikian.

Manusia berupaya mengenal dirinya dan mengenal tuhannya. Manusia ingin lebih tahu siapa dirinya dan bagaimana tuhannya. Semakin pesat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tampaknya semakin tinggi pula keinginan manusia mencari jati diri dan tuhannya. Upaya itulah yang dilakukan oleh John C. Avise yang dikenal sebagai pakar dunia dalam bidang genetika evolusioner dan ekologi.

Buku ini mencoba memberi pemahaman yang lebih jernih mengenai temuan empiris mutakhir di bidang genetika molekuler manusia dan kemajuan konsep dalam teori genetika evolusioner, serta antara teologi dan biologi evolusioner yang keduanya bertujuan untuk memahami hakikat manusia.

Pemikiran yang dibawa oleh buku ini sebenarnya cukup sederhana. Setelah kita tahu bahwa gen-gen dalam tubuh kita menentukan takdir bentuk tubuh dan kesehatan kita, bahkan kebudayaan, kepribadian, dan kecenderungan moral kita, lantas bagaimana dengan kepercayaan keagamaan yang menempatkan Tuhan sebagai penguasa takdir manusia?

Pada awal-awal tulisannya dengan gaya bahasa ilmiah yang sistematis penulis memulainya dengan doktrin biologi yang menjelaskan bagaimana tiga doktrin biologi saat ini yaitu mekanisme, seleksi alam dan kesejarahan. Selanjutnya penulis membawa pembaca menelaah ulang kembali mengenai mitologi asal usul kehidupan dari sudut pandang agama dan sains. Dan menghubungkan dari sudut biologi, bagaimana asal usul gen manusia.

Pada bab-bab terakhir profesor dalam bidang ekologi dan genetika evolusioner di Universitas California ini semakin membawa pembaca mengenai gen secara luas. Dan terakhir john avice menutup babnya dengan manis dimana dia mengulas akan kepercayaan manusia akan tuhan dan memberi porsi yang lebih besar untuk ranah filosofis. Diantaranya ada bahasan yang tergolong “berani” mengenai takdir versus sains, hingga etika bioteknologi

Buku ini adalah tentang sebab akibat dalam biologi. Buku ini tidak dimaksudkan untuk berkutat serius dengan dampak evolusi terhadap ketuhanan dari sudut pandang para filsuf keagamaan atau ahli teologi, melainkan hadir untuk memberikan pemahaman yang lebih jernih mengenai temuan empiris mutakhir di bidang genetika molekuler dan kemajuan konsep dalam teori genetika evolusioner, yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan komunikasi antara ilmu sosial dan eksakta, serta antara teologi dan biologi evolusioner.

Buku yang setebal 360 lembar dengan cover yang menarik ini memang tidak harus dibaca oleh semua elemen karena bahasanya seringkali ditemui istilah-istilah biologi. Namun tidak menutup kemungkianan para pembaca yang awam mengenai biologi dapat mengikuti alur tulisan penulis karena buku ini juga menampilkan daftar istilah pada halaman terakhirnya.

Buku ini mengunggulkan sains sebagi jalur pilihan bagi penelaahan rasional, namun tidak menyatakan ”claims” tegas perihal nilai etis atau pragmatis objektivitas rasional itu sendiri. Catatan yang penting hanya satu, yakni berpikirlah terbuka. Karena, keterbukaan merupakan pintu awal dari hikmah pengetahuan apalagi di tengah kondisi umat beragama.

Judul Buku : The Genetic Gods (Tuhan-Tuhan Genetis) Kuasa Gen atas Takdir Manusia

Penulis : John C. Avice

Penerbit : Serambi

Cetakan : 2007

Tebal : 360

Harga : Rp 25.000,00

Ali


Potret Sehari-hari Imam Khomeini

Ayatolloh Ruhulloh Khomeini,,,seorang pemerhati islam pasti akan mengenalnya. “Dengan sikap kerendahan hati pada puncak prestasinya merupakan pelajaran bagi perilaku pribadi yang hanya sedikit bandingannya dalam sejarah.”ucap Prof. Dr. Hamid Algar, Guru Besar University of California terhadap pribadi yang luar biasa yang dimilki seorang tokoh Revolusi Islam Iran yang telah berhasil menggulingkan rezim Syah yang berkuasa sewenang-wenang ditanah Persia itu.

Imam Khomeini lahir pada tanggal 20 Jumaidil akhir 1329/24 September 1902 M, dikota khomain, lahir dari pasangan tokoh terkemuka yaitu Ayatollah Sayyid Musthofa al-Musawi dan Sayyidah Hajar, baik dari garis keturunannya orang tua laki ataupun wanita adalah keturunan langsung Rasulullah SAW dari jalur Sayyidah Fathimah dan Sayyidina Ali as

Dalam buku ini semuanya berisi potret sehari-hari beliau yang dikutip dari berbagai sumber ,buku ini dapat memberikan kekaguman pada pembaca terhadap beliau baik yang sudah mengenalnya ataupun belum, buku ini merupakan satu-satunya yang mengisahkan perilaku sehari-hari beliau di Indonesia. Sedikit dari pribadi yang dimliki imam yaitu beliau sangat menyayangi anak kecil dan selalu menekankan agar selalu sholat tepat waktu, sepanjang hidupnya hanya dihabiskan untuk islam. Dengan segala kesibukan, tanggung jawab dan kehebatannya sebagai pemimpin revolusi adalah pribadi yang paling lembut kepada keluarga dan anak. Ia bak batu karang yang memendam lautan cinta. Buku ini sekali lagi menghadirkan pribadi sang tokoh dari balik layar.

Imam bak sinar terang dalam sejarah islam dan cahaya ini tidak akan redup selepas wafatnya. Jutaan rakyat iran mengantarnya ke tempat peristirahatannya terakhir didekat pemakaman Behesti Zahro, selatan Teheran pada tanggal 3 Juni 1989, sementara puluhan juta para pencintanya diseluruh dunia berkabung dan menangisi kepergiannya.

Judul : Potret Sehari-hari Imam Khomeini

Penerjemah : Leinnover Bahseyn

Tebal : 213 halaman

Penerbit :IIMAN

Ali

BERFIKIR POSITIF UNTUK REMAJA



Apa sih resep buat jadi orang sukses dan bahagia? Gampang, menurut penulis buku ini, kita cuma perlu rasa PD alias percaya diri, itu merupakan sebagian resep yang diberikan oleh sang penulis bagi para remaja khususnya.

Penulis Nurman Vincent Peale optimis sekali apabila para remaja membaca buku ini kemudian mempraktekannya praktis kehidupannya akan selalu diselimuti oleh kebahagian.

Buku yang berisi kisah-kisah dengan masalah yang berbeda dan sekaligus dengan penyelesaian ini cukup menggugah hati, disetiap kisah semakin menyakinkan para pembaca akan potensi yang dimiliki. Sadar akan potensinya sendiri, pemikiran semacam itu dapat menata kembali kehidupan kita, sehingga mampu menjadi apapun yang kita inginkan.

Buku yang dirancang dengan ulasan simple dan langsung membantu kaum muda mengenal diri sendiri agar bisa menjalani kehidupan yang bahagia dan efektif sejak dini. Juga menggambarkan dan menunjukkan hukum terpenting dasar-dasar sukses, yakni berfikir positif

Dengan predikat buku best seller internasional ini berisi pula prinsip-prinsip yang ditulis oleh sang penulis guna menyakinkan para remaja bahwa semua masalah akan bisa diselesaikan, prinsip itu dibilang manjur dan sudah dibuktikan dilaboratorium sang penulis.

Buku ini menarik dan sangat berguna bagi para remaja, jiwa remaja yang mudah goyang diterpa angin masalah, maka perlu memilki pondasi yang kuat yaitu prinsip dan buku “the power of positive thinking” ini menjelaskan tentang itu.

Judul Buku : berfikir positif untuk remaja

Pengarang : Norman Vincent Peale

Penerbit : BACA

Halaman : 308

Terbit : 2006

Ali

Filsafat Ilmu



Dan Dia (Allah) mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya.” (Q.S. Al baqarah 31). Dalam ayat itu kita bisa mengartikan bahwa kata-kata yang diajarkan oleh Allah kepada Adam adalah ilmu. Sebab kalau kita mau meneliti, kata adlah akar dari ilmu atau ilmu itu tersusun dari kata-kata. Suatu contoh sebuah ilmu mengatakan “Bumi adalah bulat”. Maka ilmu itu tersusun dari kata-kata “bumi”,”adalah”,dan “bulat”. Oleh karena itulah sebagian orang mengatakan bahwa “Adam” (sesuatu yang diciptakan, ada) telah diberi bekal oleh Allah seperangkat atau patokan-patokan tentang semua hal yang ada di alam ini. Dengan bekal tersebut berpengaruh terhadap cara berpikir seorang manusia untuk mencari kebenaran.Disinilah sehingga fungsi penciptaan awalnya sebagai khalifah di bumi dapat dan mungkin untuk ditunaikan.

Dari tujuan itu manusia mendapatkan suatu metode berpikir yang disebut dengan filsafat. Banyak definisi dari filsafat, tetapi intinya adalah berpikir secara radikal untuk menemukan kebenaran (penyelesaian masalah) sedalam-dalamnya. Sehingga tujuan aslinya adalah mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin, mengajukan kritik dan menilai pengetahuna tertentu, menemukan hakekatnya dan mengaturnya secara sistematis. Sehingga membawa kita ke pemahaman, dan pemahaman membawa kita kepada tindakan yang lebih layak. Misalnya Biologi yaitu ilmu yang memepelajari tentang makhluk hidup, pertanyaan apa itu “kehidupan”,”kapan awal mula makhluk itu ada” tidak terjawab oleh biologi tetapi ini masuk ke filsafat. Ekonomi adalh ilmu yang mempelajari peristiwa-peristiwa masyarakat yag berhubungan debgan pemuasan keperluan manusia. Dimana alat pemuas itu (dalam ekonomi) adalah yang dapat dipertukarkan. Pertanyaan mengapa manusia selalu ingin mendapatkan “kepuasan”, “apa manusia” bukan pertanyaan yang dipelajari oleh ilmu ekonomi, tetapi masuk ke filsafat.

Sedangkan untuk definisi ilmu adalah pengetahuan yang tersusun secara sistematis. Pengetahuan adalah proses dari tahu (penginderaan). Jadi setiap indera mengobservasi, terbentuklah pengertian (simbolnya adalah kata) yang bagi pikiran merupakan data dalam proses lebuh lanjut. Ilmu yang membahas sesuatu sedalam-dalamnya disebut filsafat (misalnya rasionalisme, empirisme, eksistensialisme dll), filsafat yang “diyakini” kebenarannya menjadi ideologi (marxisme, kapitalisme, komunisme, sosialisme dll) ideologi/filsafat yang diyakini turun dari langit disebut agama (nasrani, islam, yahudi dll). Secara berurutan bisa disebutkan adalah Tahu à Pengetahuan à Ilmu à Filsafat à Ideologi à Agama.

Sedangkan filsafat yang mempelajari bagaimana ilmu itu timbul dalam diri manusia dan bagaimana ilmu tiu bekerja (cara kerja ilmu) disebut filsafat ilmu. Secara garis besar terdapat dua kelompok besar dalam filsafat ilmu ini yaitu Rasionalisme yang mengatakan bahwa sumber segala sumber ilmu yang kita miliki ini berasala dari diri kita sendiri (rasio/akal), ada pengetahuan-pengetahuan apriori (pengetahuan azali dalam diri kita) hasil-hasil empiris (penginderaan) dibantu oleh mereka sehingga menghasilkan pengetahuan, (konsep itu seperti “sebab-akibat”, “ada-tiada” dll). Dan yang kedua adalah Empirisme yang mengatakan bahwa sumber pengetahuan itu hanya diperoleh dengan mengindera, apabila salah satu indera kita hilang maka kita tak dapat memperoleh pengetahuan tentang sesuatu yang berhubungan dengan indera itu. Sedangkan teori para filosof muslim yaitu teori Intiza’ (disposesi) yang mengatakan bahwa akal punya ide-ide primer dari pengkonsepsian inderawi, tetapi konsep-konsep ini dikembangkan oleh akal sehingga menghasilkan ide-ide yang diluar pengkonsepsian (penginderaan awalnya).

Kerja Ilmu Secara Sederhana

1. Beberapa pengertian

a. Pengertian yaitu segala sesuatu yang sudah terindera oleh manusia dan masuk ke dalam rasio/akal manusia. Simbolnya adalah kata. Dalam logika ini disebut sebagai term.

b. Proposis adalah rangkaian kata-kata. Di sini minimal terdiri dari dua kata yaitu subyek dan predikat. Dalam proposis ini sudah mulai dapat dikenakan benar atau salahnya pernyataan itu. Simbolnya adalah kalimata berita. Dalam logika disebut sebagai premis.

c. Penalaran adalah proses mencari kesimpulan baru yang belum diketahui dengan proposis-proposisi yang sudah diketahui (yang benar atau dianggap benar).

-Penalaran yang kesimpulannya lebih luas dari premis-premisnya disebut penalaran Induktif.

- Penalaran yang kesimpulannya lebih sempit dari pada premis-premisnya disebut penalaran Deduktif.

2. Asas-asas dalam penalaran

-Asas identitas mengatakan bahwa sesuatu itu hanya identik dengan dirinya sendiri (the principle of identity).

-Asas kontradiktif mengatakan bahwa sesuatu itu tidak mungkin X sekalipun bukan X (A=B dan sekaligus A=B). (the principle of contradiction).

-Asas tiada jalan tengah mengatakan sesuatu itu memiliki atau tidak memiliki sifat tertentu (A=B atau A=B).

3. Definisi kebenaran

-Teori Korespondensi yaitu kesesuaian antara subyek yang mengetagui dan obyek yang diketahui.

-Teori Koherensi yaitu keberurutan sesuatu secara logis (A=B,B=C maka A=C).

-Teori Pragmatisme yaitu sesuatu yang benar adalah sesuatu yang bermanfaat.

-Teori Teologis yaitu benar dan salah, baik dan buruk adalah apa yang dikatakan Tuhan baik/benar dan yang dikatakan Tuhan buruk/salah.

4. Cara mencari kebenaran

-Akal…………………….Deduksi, Induksi dll.

-Hati……………………..Intuisi

Contoh Kerja Ilmu Dalam Imu Alam :

1. Dengan mengadakan analisa secara spektroskopik terhadap cahaya yang dipancarkan atau diserap oleh unsur-unsur kimia, dapatlah ditemukan berderet-deret garis-garis spektrum yang bagi masing-masing unsur bersifat khas. Bila kita menangkap garis-garis spektrum di dalam cahaya yang dipancarkan oleh bintang-bintang tertentu, dapatlah disimpulkan bahwa unsur-unsur tersebut terdapat pada bintang-bintang tadi. Jika disamping itu menurut tangkapan kita secara keseluruhan, pola garis-garis spektrum tersebut secara relatif bergeser tempat, maka dapatlah disimpulkan bahwa ditinjau dari segi orang yang melakukan tangkapan, bintang yang ditangkap tersebut bergerak dengan kecepatan yang sebanding dengan besarnya pergeseran. Kesimpulan ini didasarkan atas daya- Doppler yang telah ditemukan dan memperoleh verifikasi berdasarkan atas percobaan-percobaan terhadap gelombang-gelombang di Bumi.

2. Dengan memandang bunyi sebagai getaran, seorang ahli menghubungkan gejala-gejala akustik dan gejala-gejala mekanik dan mendeskripsikannya di dalam satu sistem belaka. Model bagi getaran bunyi dapat dijabarkannya dari garpu suara atau senar yang bergetar. Besara-besaran seperti tinggi nada, frekuensi, amplitudo, riak gelombang, laju rambat, dapat digambarkan serta diperhitungkan secara mekanik dan matematik. Selanjutnya besaran-besaran ini dapat diabstraksiakn dari substrat material (garpu suara, senar, udara sebagai media bunyi) dan untuk seterusnya berlaku sebagai karakteristik-karakteristik bagi getaran pada umumnya. Sebagai pengganti pada getaran, kita juga dapat menamakannya arus gelombang. Bila cahaya kita pandang sebagai getaran atau arus gelombang, bagi cahaya kita juga dapat menentukan serta memperhitungkan besaran-besaran getaran yang khas. Dengan menggunakan hipotesa “cahaya ialah getaran elektromagnetik”, kita maju setapak lebih jauh lagi dan kita dapat melukiskan serta menjelaskan gejala-gejala optik serta elektromagnetik dalam suatu kerangka bersama. Pada mikroskop elektron, digunakan medan-medan elektromagnetik sebagai sistem lensa. Sebagaimana sebuah prisma dapat memisahkan cahaya putih ke dalam spektrum bagian-bagian monokromatik, begitu pula sebuah medan elektromagnetik yang kuat dapat memecah-mecah lebih lanjut garis-garis spektrum yang khusus ke dalam spektrum pancaran unsur-unsur kimia (struktur halus dan struktur adihalus). Ditemukannya serta diperhitungkannya gejala-gejala yang terakhir, sekali lagi menimbulkan sebuah hipotesa lebih lanjut, yaitu adanya kesenilaian antara gelombang-gelombang elektromagnetik di satu pihak, dengan gelombang-gelombang materi (atau bagian-bagian materi elementer yang bergerak cepat) di lain pihak. Adanya gelombang-gelombang materi merupakan praanggapan yang diperlukan untuk memberikan penjelasan mengenai interferensi serta interaksi antara materi dengan pancaran. Gejala-gejala desintegrasi radioaktif pada penembakan inti-inti atom kini dapat dideskripsikan serta diterangkan dalam suatu hubungan yang bulat. Adanya bagian-bagian cahaya elementer (foton) menjadi dapat dipahami. Yang akhirnya memunculkan teori kesenilaian antara materi dengan pancaran/tenaga yang terungkap dalam persamaan e = mc2 oleh Einstein, yang memperoleh penerapannya secara teknik dalam pengubahan bentuk materi menjadi tenaga dalam bom inti serta reaktor inti.

Di dalam cara berpikir serta cara bekerja ilmu alam observasi, teori dan eksperimen sepenuhnya jalin-menjalin. Sebagai lmu empirik, ilmu alam mendapatkan bahan-bahannya dari alam sebagai kenyataan empirik melalui pengalaman yang banyak jumlahnya. Sesungguhnya observasi empirik merupakan proses yang berstruktur rumit. Dan dalam hal ini tidak dapat begitu saja dikatakan bahwa seorang subyek menangkap suatu obyek dan memperoleh bahan-bahan secara mudah. Suatu observasi sebelum terjadi, harus sudah diatur dan direncanakan. Karena jangkauan observasi inderawi manusia bersifat sangat terbatas dibandingkan dengan dimensi-dimensi alam, maka observasi tersebut haruslah diperkuat, diperluas, diperlengkap, diperhalus, dipresisikan dengan menggunakan alat-alat, didukung oleh praanggapan-praanggapan teoritik, dan ditetapkan kembali serta diterjemahkan dengan memakai operasi-operasi pemikiran.

Secara ringkas alur berpikir dapat ditulis dengan :

  1. Mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya
  2. Melakukan kategorisasi/pengelompokan/klasifikasi
  3. Melakukan abstraksi
  4. Pembentukan tipe ideal
  5. Mencari hubungan-hubungan baik korelasi maupun sebab akibat
  6. Perumusan teori/hukum
  7. Pengeterapan dengan membuat peramalan/kebijakan.